Senin, 11 Maret 2013

Catatan dari Luwuk Tahun Lalu (part 1)

Catatan ini tentang sembilan tahun yang lalu, ya di tahun 2011 saya merayakan Lebaran sendiri untuk pertama kali 😢.
       
Libur panjang lebaran kali ini bakal membosankan, itulah yang ada di benakku pada hari-hari menjelang libur idul fitri tahun ini. Para guru yang ada di asrama mayoritas tidak ada di tempat, sebagian mudik dan sebagian pulang ke rumah mereka di kota. Para siswa hanya sedikit yang bertahan (mencoba menahan lebih tepatnya) untuk tidak pulang ke rumah masing-masing. Beberapa waktu kemarin aku tidak merencanakan pulang ke Malang untuk lebaran, selain tidak ada persiapan mencari tiket, sayang juga untuk pulang karena baru dua bulan di sini. Alhasil, aku hanya jalan-jalan ke rumah beberapa guru yang ada di kota  Gorontalo ini dan liburan ke Luwuk selama empat hari.
  Rencana mengunjungi kota Luwuk berawal dari sebuah obrolan dengan salah satu siswi pada saat di masjid kami tercinta, Ulul Albab. Ayu, salah satu siswiku yang berasal dari Luwuk mulai mempromosikan kota tercintanya, yang baru saya ketahui kalau Luwuk ada di Sulteng. Eheekk… maklumlah, orang rumahan, belum pernah berpetualang sebelumnya. Panjang kali lebar menjadi luas, Si Ayu menceritakan keindahan kota di waktu malam hari yang katanya seperti Hongkong (eheeekk.. gara-gara istilah ini anak-anak mulai menggantikan jargon  yang sedang booming “…… dari Hongkong ?? menjadi…. dari Luwuk??!!!!!”). 
Perjalanan dari Gorontalo ke Luwuk ditempuh melalui jalur laut yaitu dengan kapal Ferry yang berangkat pada malam hari. Boleh saja jika mau lewat jalan darat dari Palu, tapi sampai di Luwuk alamat pantat anda bisa buat manggang jagung (hehehe lebay), baiknya lewat laut sajalah walau tidak juga dijamin di tengah laut kapal bakalan berdisko digoyang ombak malam hari. Saya sudah diberi tahu rute jalur menuju Luwuk oleh Andi, salah satu siswa yang juga berasal dari sana. Dari sekolah, naik bentor menuju pelabuhan ferry Gorontalo (ya iyalah masak ke terminal???). Sampai di pelabuhan cepat-cepat beli tiket dan cari kasur untuk tidur. Jika sudah tiba di pelabuhan Pagimana, naik mobil sewaan menuju Luwuk dan nanti akan dijemput di terminal sama mereka.

Karena saya ini tipe orang yang sedikit penakut dan takut kesasar terutama, maka saya survei dulu ke pelabuhan Gorontalo untuk melihat bagaimana nanti proses perjalanan menuju ke sana sekalian beli tiket untuk esoknya. Pada hari bisasa, kapal ferry yang menuju Pagimana hanya berangkat dua hari sekali. Berhubung masih musim mudik, maka sampai tanggal 6 September, kapal bisa berangkat setiap hari.
Sabtu pagi, saya pergi ke pelabuhan diantar oleh Ika, murid kelas XII yang biasa naik kapal laut (rumahnya Kendari jehh..., buat dia sudah waleh bin bosen naik kapal laut). Sampai di sana, loket masih tutup tetapi Woooowwww…. Indah sekali pemandangan pelabuhan Gorontalo di pagi hari. Seperti ini nih..


Ini baru di Pelabuhan Gorontalo, lalu bagaimana perjalanan ke Luwuk? Rasa penasaran ini harus dibayar tunai sesuai cerita yang digemborkan para murid saya tentunya.


Pagi itu memang cerah sekali sehingga antara langit dan laut terlihat jelas degradasi warna yang dihiasi sinar matahari. Alhamdulillah tidak seperti di Jawa yang airnya sudah mulai kotor bin butek, di sini masih bening klining-klining sampai ikan kecil yang berenang pun kelihatan jelas. Selesai menikmati pemandangan dan berfoto ria (foto di atas menggunakan kamera ponsel Nokia N95, cuma itu yang saya punya hehe) saya kembali ke loket pembelian tiket tetapi belum buka juga. Akhirnya saya pulang karena besok masih ada acara dan sore hari baru berangkat.
Pulang dari acara silaturahmi jam 3 sore, saya langsung menuju ke pelabuhan karena takut kalau kapal berangkat lebih cepat. Menurut informasi, biasanya kapal berangkat dari pelabuhan Gorontalo bisa berangkat sewaktu-waktu begitu penumpang sudah penuh. Di atas bentor, Andi (siswaku) mengirim SMS menanyakan kapan saya berangkat, sekalian juga saya tanya lebih detil bagaimana nanti perjalanan di atas kapal. Sempat kemarin disebut-sebut saya harus cepat-cepat dan cari kasur.  Weitss! kasur apa nih? Yang ada di banyangan saya sih kasur pakai kapuk itu. Ternyata eh ternyata sesampai di pelabuhan pada pukul 15.00 WITA masih sedikit penumpang yang bersiap-siap. Saat saya tanyakan ke petugas kapan kapal akan berangkat, ternyata nanti setelah maghrib. Mak glodak masih ngentang bin nglumut tiga jam nih. Akhirnya setelah membeli tiket saya putuskan untuk jalan-jalan keluar pelabuhan dan menyusuri jalanan pinggir pantai.
Keluar dari pelabuhan menuju jalan raya yang di sebelah kanannya adalah pantai. Saya terus berjalan kea rah timur untuk sekedar melihat pemandangan sekitar. Orang di sini mungkin tidak terbiasa melihat orang berjalan kaki dengan membawa tas ransel seperti saya. Umumnya, penduduk akan memilih bentor demi kenyamanan, tinggal duduk dan serrrrrrrrr…. Angin semilir akan membelai perjalanan Anda i atas becak motor. Loh ya malah ngomongin bentor! Kembali kepada jalan-jalan di pinggir jalan raya yang pinggirnya pantai (bingung??). Beberapa orang terlihat aneh melihat saya yang berkostum lumayan kagak mirip gelandangan dengan membawa ransel yang memang berat isinya. Ada salah seorang lelaki yang nyeletuk “Mau kemana cewek? Naik bentor saja!” saya memang sedikit risih dengan panggilan orang sini yang biasa menyebut gadis dengan “cewek” kesannya kok gak sopan banget yah atau mungkin masih kebiasaan di Jawa yang ke mana-mana dipanggil Mbak. Tapi itulah Indonesia aneka rupa bahasa yang bisa jadi katanya sama tapi maknanya berbeda. Salah satu contoh ini adalah cerita dari salah satu teman guru yang dipanggil bajingan oleh muridnya. Beliau lantas pulang sambil menangis. Tak lama kemudian para murid menyusul dan bertanya mengapa ibu guru tersebut menangis. Sontak beliau menanyakan mengapa dia dikatai bajingan. Dengan heran bercampur lucu para murid menjelaskan kalau kata bajingan di sini maknanya hebat, bagus! Tuh kan, aneka bahasa rupa-rupa budaya semuanya ada di negara kita yang indah ini.
            
Menyusuri jalanan ini sebenarnya memang dekat dengan lautnya, tapi tidak ada pantai yang landai untuk sekedar main-main air di pinggirnya. Rata-rata setelah badan jalan hanya tersisa tanah sedikit dan di sampingnya laut yang cukup dalam. Akhirnya saya melihat sebuah restoran pinggir pantai. Eitss..jangan dipikir saya mau makan di sana karena harganya sudah bisa dijamin bakalan setinggi gunung Tilongkabila. Saya melihat pintu masuk ke retoran itu terbuka di samping kirinya yang jika mobil atau kendaraan masuk bisa langsung parkir di bawah pohon yang depannya adalah pantai yang cukup indah. Walaupun saya tidak masuk untuk makan, tetapi karena sepertinya terbuka untuk umum akhirnya saya masuk ke sana juga. Lumayan memandang dan mengambil beberapa foto sunset. Ada yang disayangkan dari pantai itu, apalagi kalau bukan kebersihannya. Beberapa sampah plastik dengan pede nungging di bibir pantai. Yah kali ini Indonesia tidak boleh bangga dengan kebiasaan penduduknya yang suka buang sampah sembarangan. Harusnya ini dibina, dibinasakan tepatnya!😠



 
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar