Libur panjang lebaran kali ini bakal membosankan, itulah yang ada di benakku pada hari-hari menjelang libur idul fitri tahun ini. Para guru yang ada di asrama mayoritas tidak ada di tempat, sebagian mudik dan sebagian pulang ke rumah mereka di kota. Para siswa hanya sedikit yang bertahan (mencoba menahan lebih tepatnya) untuk tidak pulang ke rumah masing-masing. Beberapa waktu kemarin aku tidak merencanakan pulang ke Malang untuk lebaran, selain tidak ada persiapan mencari tiket, sayang juga untuk pulang karena baru dua bulan di sini. Alhasil, aku hanya jalan-jalan ke rumah beberapa guru yang ada di kota Gorontalo ini dan liburan ke Luwuk selama empat hari.
Rencana
mengunjungi kota Luwuk berawal dari sebuah obrolan dengan salah satu siswi pada
saat di masjid kami tercinta, Ulul Albab. Ayu, salah satu siswiku yang berasal
dari Luwuk mulai mempromosikan kota tercintanya, yang baru saya ketahui kalau Luwuk
ada di Sulteng. Eheekk… maklumlah, orang rumahan, belum pernah berpetualang
sebelumnya. Panjang kali lebar menjadi luas, Si Ayu menceritakan keindahan kota
di waktu malam hari yang katanya seperti Hongkong (eheeekk.. gara-gara istilah
ini anak-anak mulai menggantikan jargon yang sedang booming “…… dari Hongkong ?? menjadi…. dari Luwuk??!!!!!”).
Perjalanan dari Gorontalo ke Luwuk ditempuh melalui
jalur laut yaitu dengan kapal Ferry yang berangkat pada malam hari. Boleh saja
jika mau lewat jalan darat dari Palu, tapi sampai di Luwuk alamat pantat anda
bisa buat manggang jagung (hehehe lebay), baiknya lewat laut sajalah walau
tidak juga dijamin di tengah laut kapal bakalan berdisko digoyang ombak malam
hari. Saya sudah diberi tahu rute jalur menuju Luwuk oleh Andi, salah satu siswa
yang juga berasal dari sana. Dari sekolah, naik bentor menuju pelabuhan ferry
Gorontalo (ya iyalah masak ke terminal???). Sampai di pelabuhan cepat-cepat
beli tiket dan cari kasur untuk tidur. Jika sudah tiba di pelabuhan Pagimana,
naik mobil sewaan menuju Luwuk dan nanti akan dijemput di terminal sama mereka.
Karena saya ini tipe orang yang sedikit penakut dan
takut kesasar terutama, maka saya survei dulu ke pelabuhan Gorontalo untuk
melihat bagaimana nanti proses perjalanan menuju ke sana sekalian beli tiket
untuk esoknya. Pada hari bisasa, kapal ferry yang menuju Pagimana hanya
berangkat dua hari sekali. Berhubung masih musim mudik, maka sampai tanggal 6
September, kapal bisa berangkat setiap hari.
Sabtu pagi, saya pergi ke pelabuhan diantar oleh Ika,
murid kelas XII yang biasa naik kapal laut (rumahnya Kendari jehh..., buat dia
sudah waleh bin bosen naik kapal laut). Sampai di sana, loket masih tutup
tetapi Woooowwww…. Indah sekali pemandangan pelabuhan Gorontalo di pagi hari.
Seperti ini nih..
Ini baru di Pelabuhan Gorontalo, lalu bagaimana perjalanan ke Luwuk? Rasa penasaran ini harus dibayar tunai sesuai cerita yang digemborkan para murid saya tentunya.
Pagi itu memang cerah sekali sehingga antara langit dan laut terlihat jelas
degradasi warna yang dihiasi sinar matahari. Alhamdulillah tidak seperti di
Jawa yang airnya sudah mulai kotor bin butek, di sini masih bening klining-klining sampai ikan kecil yang
berenang pun kelihatan jelas. Selesai menikmati pemandangan dan berfoto ria
(foto di atas menggunakan kamera ponsel Nokia N95, cuma itu yang saya punya
hehe) saya kembali ke loket pembelian tiket tetapi belum buka juga. Akhirnya
saya pulang karena besok masih ada acara dan sore hari baru berangkat.
Pulang dari acara silaturahmi jam 3 sore, saya
langsung menuju ke pelabuhan karena takut kalau kapal berangkat lebih cepat.
Menurut informasi, biasanya kapal berangkat dari pelabuhan Gorontalo bisa
berangkat sewaktu-waktu begitu penumpang sudah penuh. Di atas bentor, Andi (siswaku)
mengirim SMS menanyakan kapan saya berangkat, sekalian juga saya tanya lebih
detil bagaimana nanti perjalanan di atas kapal. Sempat kemarin disebut-sebut
saya harus cepat-cepat dan cari kasur. Weitss!
kasur apa nih? Yang ada di banyangan saya sih kasur pakai kapuk itu. Ternyata
eh ternyata sesampai di pelabuhan pada pukul 15.00 WITA masih sedikit penumpang
yang bersiap-siap. Saat saya tanyakan ke petugas kapan kapal akan berangkat,
ternyata nanti setelah maghrib. Mak glodak masih ngentang bin nglumut tiga jam
nih. Akhirnya setelah membeli tiket saya putuskan untuk jalan-jalan keluar
pelabuhan dan menyusuri jalanan pinggir pantai.
Keluar dari pelabuhan menuju jalan raya yang di sebelah
kanannya adalah pantai. Saya terus berjalan kea rah timur untuk sekedar melihat
pemandangan sekitar. Orang di sini mungkin tidak terbiasa melihat orang
berjalan kaki dengan membawa tas ransel seperti saya. Umumnya, penduduk akan
memilih bentor demi kenyamanan, tinggal duduk dan serrrrrrrrr…. Angin semilir
akan membelai perjalanan Anda i atas becak motor. Loh ya malah ngomongin
bentor! Kembali kepada jalan-jalan di pinggir jalan raya yang pinggirnya pantai
(bingung??). Beberapa orang terlihat aneh melihat saya yang berkostum lumayan kagak
mirip gelandangan dengan membawa ransel yang memang berat isinya. Ada salah
seorang lelaki yang nyeletuk “Mau kemana cewek? Naik bentor saja!” saya memang
sedikit risih dengan panggilan orang sini yang biasa menyebut gadis dengan
“cewek” kesannya kok gak sopan banget yah atau mungkin masih kebiasaan di Jawa
yang ke mana-mana dipanggil Mbak. Tapi itulah Indonesia aneka rupa bahasa yang
bisa jadi katanya sama tapi maknanya berbeda. Salah satu contoh ini adalah
cerita dari salah satu teman guru yang dipanggil bajingan oleh muridnya. Beliau
lantas pulang sambil menangis. Tak lama kemudian para murid menyusul dan
bertanya mengapa ibu guru tersebut menangis. Sontak beliau menanyakan mengapa
dia dikatai bajingan. Dengan heran bercampur lucu para murid menjelaskan
kalau kata bajingan di sini maknanya hebat, bagus! Tuh kan, aneka bahasa
rupa-rupa budaya semuanya ada di negara kita yang indah ini.
Menyusuri jalanan ini
sebenarnya memang dekat dengan lautnya, tapi tidak ada pantai yang landai untuk
sekedar main-main air di pinggirnya. Rata-rata setelah badan jalan hanya
tersisa tanah sedikit dan di sampingnya laut yang cukup dalam. Akhirnya saya
melihat sebuah restoran pinggir pantai. Eitss..jangan dipikir saya mau makan di
sana karena harganya sudah bisa dijamin bakalan setinggi gunung Tilongkabila.
Saya melihat pintu masuk ke retoran itu terbuka di samping kirinya yang jika
mobil atau kendaraan masuk bisa langsung parkir di bawah pohon yang depannya
adalah pantai yang cukup indah. Walaupun saya tidak masuk untuk makan, tetapi
karena sepertinya terbuka untuk umum akhirnya saya masuk ke sana juga. Lumayan
memandang dan mengambil beberapa foto sunset. Ada yang disayangkan dari pantai
itu, apalagi kalau bukan kebersihannya. Beberapa sampah plastik dengan pede nungging
di bibir pantai. Yah kali ini Indonesia tidak boleh bangga dengan kebiasaan
penduduknya yang suka buang sampah sembarangan. Harusnya ini dibina,
dibinasakan tepatnya!ðŸ˜



Tidak ada komentar:
Posting Komentar